Bocah lelaki itu membelalakkan mata. Kedua irisnya yang sebiru langit di luar galaksi memancarkan rasa takut ketika suara itu memanggil namanya dengan nada seperti berdendang, seolah sedang mencari mangsa dalam permainan petak umpet yang riang. Sambil menahan napas, ia bergerak ke kanan, merapat pada satu-satunya dinding yang masih berdiri tegak. Bocah itu berusaha setengah mati agar tak terlihat, karena ia sadar betul bahwa kali ini nyawanya bergantung pada kemampuannya bersembunyi.
Perlahan, ia menekuk lututnya dan berjongkok serendah mungkin. Keningnya menekan lutut kuat-kuat sampai terasa sakit. Bocah itu menunggu dan menunggu, tengah mengharapkan kesempatan untuk lari ketika tiba-tiba saja udara di sekitarnya dipenuhi suara ayunan senjata. Jeritan yang menyakitkan segera menyusul, diikuti bunyi benda berat yang ambruk ke tanah. Tanpa sempat menahan diri, bocah lelaki itu berputar di tempatnya. Matanya mencari-cari panik, namun tak ada apapun selain puing-puing bangunan yang tadinya ia sebut rumah dan kobaran api di sekitarnya… sampai ia menemukan sosok itu. Terkapar di salah satu sudut dengan tangan dan kaki yang menekuk ke arah yang salah. Sebilah pedang tertancap di perutnya, darah merah gelap mengalir deras dari lukanya. Saat bocah lelaki itu akhirnya menangkap mata si korban –membelalak dan mati– seketika kerongkongannya tercekat. Sudut-sudut matanya seolah terbakar saat ia hanya bisa meratapi kematian ibunya dengan tangisan tanpa suara.
Karl Eisenberg
—
Foto dalam tulisan ini dipinjam dari DevianArt. Thanks!